Pembelajaran
hampir mendekati akhir tahun ini sungguh membawa perbedaan dan perubahan dari
sudut pandangku, menambah sesuatu pengetahuan yang tak pernah disangka, dan
pada akhirnya membawa satu keteguhan iman dalam sudut pandang tentang
pernikahan.
Beberapa hari
lalu saya dibuat ‘tak nyaman’ dengan kisah teman kerja yang sudah kuanggap
kakak perempuan buatku, dia bercerita tentang suaminya dan itu menegaskan
kembali bahwa suaminya jatuh dalam dosa perselingkuhan untuk kedua kalinya
dengan perempuan yang sama.
Di tempat kerja
saya, begitu akrab dengan perselingkuhan dan perceraian, ada beberapa teman
kami yang tersandung dalam persoalan ini dan ini bukan hanya menjadi masalah
satu-satunya bahkan ini sudah menjadi hal yang umum di komunitas masyarakat
saya berada saat ini.
Kembali kepada
topik, kita semua yah saya rasa pada umumnya tidak menginginkan masalah dalam
pernikahan, walaupun saya sampai pada tulisan ini belum menikah, tetapi saya
tidak ingin ada kegagalan dalam pernikahan. Masalah perselingkuhan menjadi
momok yang paling menakutkan karena menyebabkan perceraian. Apakah setiap perselingkuhan harus berakhir
dengan perceraian?
Firman Tuhan
menegaskan dengan sangat jelas tentang hal ini bahwa “Tuhan membenci perceraian”.
Perceraian terjadi karena ketegaran hati manusia. Pada saat Musa membuat
satu2nya peraturan yang mengizinkan perceraian dalam matius 19:8-9, karena
ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu (suami) menceraikan isterimu, tetapi
sejak semula tidaklah demikian. Tetapi Aku berkata kepadamu: “barangsiapa
menceraikan isterinya (kecuali karena zinah), lalu kawin dengan perempuan lain,
ia berbuat zinah.
Matius 19:8-9 versi BIS : tetapi Aku
berkata kepadamu bahwa setiap suami yang menceraikan isterinya supaya dia bisa
kawin dengan perempuan lain, di mata Allah dia berzina. Satu –satunya alasan
seorang suami boleh menceraikan istrinya adalah kalau istrinya itu sudah
berzina.
Dan saya pun berpikir, jika yang terjadi ialah sebaliknya,
suami yang berzina. Apa yang harus dilakukan seorang istri?
Saya harus memulai hal ini dengan kesaksian hidup dari
mama teman pemuda di gereja. Ibu kekasih ini berkata, bahwa tahun 2015 ini perkawinannya
memasuki usia ke-28 tahun. ia tinggal bersama sang suami 13 tahun lamanya dan telah
berpisah selama kurang lebih 15 tahun. Apakah bisa dibayangkan, setia pada
janji pernikahan selama 28 tahun dengan ditinggalkan pasangan hidup selama 15
tahun. Siapa yang bisa bertahan? Yah…mama teman saya ini sampai hari ini bisa
bertahan dan tidak pernah berniat untuk menceraikan suaminya.
Ia dengan sabar dan rela menjalani hari-hari hidupnya,
membesarkan dan menyekolahkan anak semata wayang sampai anak ini bisa meraih
gelar sarjana. Ia menjalani hari-hari yang terhimpit dengan keadaan ekonomi
yang tidak stabil, ia bahkan harus melalui tekanan berupa teror dari perempuan selingkuhan
suaminya. Ia diperhadapkan dengan kebutuhan hidup, keamanan dan kebutuhannya
akan seks. Apakah selama 15 tahun, dia tidak merindukan dekapan dan rasa aman
dari suaminya? Tidak mungkin. Dia pasti sangat membutuhkannya. Bagaimana ia
melewati semua itu dengan tetap murni? Hampir mustahil, tetapi ia bisa dan
masih melewatinya.
Ketika orang-orang mempertanyakan, kenapa lagi harus
bertahan? Sudah sangat lama, kenapa tidak mencari sandaran baru? Kenapa tidak
bercerai saja dan menikah lagi, supaya memperoleh perlindungan lagi?
Pernyataannya akan mengugah setiap yang mendengar dan mungkin ini menjadi kebodohan di masa ini. Ia seorang
wanita Kristen yang taat. Ia tetap taat demi mempertahankan perintah Tuhan yang
dipercaya dan disembahnya. Dia membutuhkan semua itu dan Dia percaya bahwa
Tuhan yang disembah dan dipercayanya tidak pernah meninggalkan dan memelihara
hidupnya untuk selamanya. Dia tetap percaya kebaikan Tuhan akan membawa dia
terus untuk mendekap masa depan. Dia tidak pernah tahu apa yang nanti terjadi,
tapi satu-satunya fakta yang membuat ia tetap kuat, bertahan dan berpengharapan
karena sudah teruji bahwa Allah yang disembahnya adalah Tuhan yang setia dan
memelihara ia dan anaknya sampai saat ini dan bahkan untuk seterusnya.
Dan satu lagi, ia tetap memberikan perhatian dan kasih
kepada suaminya, ketika ia harus bertemu dengan suaminya di kantor suaminya
karena arisan atau urusan yang masih berhubungan, ia tetap selalu dan tidak
lupa menyapa suaminya dengan kasih bukan amarah dan acuh tak acuh. Kasih yang
hampir mustahil diberikan, tetapi dengan pasti kasih tanpa syarat terus
mengalir dari perbendaharaan hatinya yang begitu murni.
Ketika saya
melihat hidupnya, sang ibu itu tetap memiliki semangat hidup dan kebahagiaan
yang terpancar dari wajahnya ialah kebahagiaan sejati yang tidak dapat diberi
oleh dunia, hanya Tuhan yang sanggup memberi kebahagiaan sedalam itu untuknya.
Pilihan hidupnya begitu sulit, ia rela hidup setengah mati demi iman dan
pengharapan kepada Tuhan, ia benar-benar telah memenuhi janjinya di hadapan
Tuhan dan manusia, ia akan menyelesaikan sampai akhir.
Kembali pada
pertanyaan saya di awal, jika yang terjadi ialah
sebaliknya, suami yang berzina. Apa yang harus dilakukan seorang istri?
Perceraian tidak
pernah ada dalam kamus penciptaan Tuhan. Ia begitu membenci hal itu. Jika
keputusan terpenting dan pertama dalam hidup ini ialah memutuskan siapa Tuhan
yang disembah, dan Kristus adalah Tuhannya maka perceraian tidaklah harus
terjadi. Dulu bahkan saat ini pun masih tersisa sedikit ketakutan, saya takut
menikah, saya takut jika saya harus menghadapi perselingkuhan. Tetapi, itu
berada di sekeliling pernikahan orang-orang dekat bahkan yang saya kasihi. Saya
secara pribadi juga harus mengakui saya pernah merasakan hal ini dari
pernikahan orangtuaku, walau tidak sampai ketahuan atau berkembang. Tetapi saya
tahu, papa saya pernah. Saya begitu tahu, sangat hancur karena papa adalah
kebangganku dan beliaulah panutanku, selama ini ku tahu dia adalah figure
bagiku dan mama. Mungkin pernah ada wanita yang menggodanya, tetapi saya tidak
tahu saat ini seperti apa, hanya lewat begitu saja. Saya menemukan hal itu dari
sms, dan saya tidak pernah berniat lagi untuk mencari tahu. Yang saya tahu,
saya harus mendoakan hal ini lagi agar papa saya bisa sungguh-sungguh bertobat
dan minta ampun pada Tuhan.
Saya tidak
pernah membayangkan jika saya ada di posisi ini, tetapi saya tidak takut lagi
akan hal ini. Semua kita ialah manusia berdosa, semua kita mendapat kesempatan
kedua yaitu Anugerah hidup kekal di dalam Kristus. Saya tidak akan
menyia-nyiakan anugerah ini seumur hidupku. Saya tahu apa yang harus saya
lakukan, dan sungguh-sungguh hidup di dalam panggilan Tuhan dan bertobat setiap
hari. Saya berdoa jika
Tuhan memanggil saya dalam sebuah pernikahan, pimpin saya pada seorang pria
yang mengasihi Tuhan dan sungguh-sungguh hidup di dalam panggilan Tuhan juga.
Saya
mengimani, ketika 2 menjadi 1 dan hidup sungguh-sungguh takut akan Tuhan dalam
pertobatan setiap hari, Tuhan akan memimpin untuk melahirkan keturunan –
keturunan ilahi bagi kemuliaan Tuhan, to God be the glory… Soli Deo Gloria.
Pernikahan dalam Kristus artinya
persekutuan dalam Kristus. Suami, isteri dan Tuhan mengambarkan hubungan
Trinitas Allah, ketritunggalan Allah Bapa, Anak Yesus Kristus dan Roh Kudus.
Persekutuan di Bumi seperti di Sorga demi KemuliaanNya Tuhan Allah pencipta
yang Mahatinggi. Persekutuan suami, isteri dan Tuhan, mewakili peran-peran
tritunggal, Allah sebagai Allah pencipta, suami yang mewakili Kristus penuh
cinta kasih dan rela berkorban, isteri yang mewakili Roh Kudus, lemah lembut,
penghibur dan penolong. Kesatuan persekutuan ini akan membuahkan
keturunan-keturunan ilahi yang menyembah dan memuliakan Allah untuk
selama-lamanya. Inilah pernikahan Kristen, pernikahan, persekutuan dan
persatuan dalam Kristus.
Apakah Allah
pencipta yang menciptakan pernikahan atau persekutuan itu sendiri, menghendaki
perceraian/perpisahan?? Tidak pernah mungkin dan sungguhlah mustahil. Maka Dia
berfirman, apa yang dipersatukannya tidak boleh diceraikan, dipisahkan bahkan
kehendakNya apalagi hanya karena ketegaran dan ketidakpuasan manusiawi. Kita
harus sungguh-sungguh bertobat dan kembali kepada firmanNya.
Soli Deo Gloria.